AHLAQ XI AG /13 SEM II. Hikmah Syaja’ah Iffah Adalah
Hikmah Syaja’ah Iffah Adalah
A.
MARI MENYIMAK AYAT-AYAT BERIKUT INI DAN BUATLAH KOMENTAR
ATAU PERTANYAAN
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
(QS. An-Na l [16] : 125)
Setelah Anda menyimak ayat di atas buatlah
daftar komentar atau pertanyaan yang relevan dengan pembahasan akhlak terpuji
1.
|
..........................................................................................................................
|
|
.......................................................................................................................
|
|
.......................................................................................................................
|
2.
|
..........................................................................................................................
|
|
.......................................................................................................................
|
|
.......................................................................................................................
|
3.
|
.........................................................................................................................
|
|
.......................................................................................................................
|
.......................................................................................................................
B. AYO MEMAHAMI MATERI INTI
Selanjutnya Anda pelajari uraian berikut ini dan Anda kembangkan
dengan mencari materi tambahan dari sumber belajar lainnya
1. Induk-Induk Akhlak Terpuji
Seorang muslim seharusnya
menghiasi diri dengan akhlak terpuji (mahmudah). Adapun akhlak terpuji
yang harus dimiiliki oleh seorang muslim antara lain:
a.
Berani dalam segala hal yang positif.
b.
Adil dan bijaksana dalam menghadapi dan memutuskan sesuatu;
c.
Mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri
sendiri;
d. Pemurah dan suka menafkahkan hartanya, baik pada waktu lapang
maupun susah;
e. Ikhlas dalam melaksanakan setiap amal perbuatan semata-mata
karena Allah Swt.;
f. Cepat bertobat dan meminta ampun kepada Tuhan jika melakukan
suatu dosa;
g.
Jujur, benar dan amanah;
2. Tenang dalam menghadapi berbagai masalah, tidak berkeluh kesah,
dan tidak gundah gulana;
3. Sabar dalam menghadapi setiap cobaan atau melaksanakan kewajiban
ibadah kepada Tuhan;
4.
Pemaaf, penuh kasih sayang, lapang hati dan tidak membalas
dendam;
5. Selalu optimis dalam menghadapi kehidupan dan penuh harap kepada
Allah Swt.;
6. Iffah, menjaga diri dari sesuatu
yang dapat merusak kehormatan dan kesucian;
7.
Al-hay ’ yakni malu melakukan
perbuatan yang tidak baik;
8.
Tawadu’ (rendah hati);
9.
Mengutamakan perdamaian daripada permusuhan;
10.
Zuhud dan tidak rakus terhadap kehidupan duniawi;
11.
Rida atas segala ketentuan yang ditetapkan Allah Swt.;
12.
Baik terhadap teman, sahabat, dan siapa saja yang terkait
dengannya;
13. Bersyukur atas segala nikmat yang diberikan atau musibah yang
dijatuhkan
14.
Berterima kasih kepada sesama umat manusia;
15.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan;
16.
Bertawakal setelah segala usaha dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya;
17.
Dinamis sampai tujuan dan cita-cita tercapai;
18.
Murah senyum dan menampilkan wajah yang ceria kepada sesama
19.
Menjauhi sifat iri hati dan dengki;
20. Rela berkorban untuk kemaslahatan umat manusia dan dalam membela
agama
Secara khusus dalam bab ini akan dibahas mengenai hikmah,
iffah, syaja’ah dan ‘adalah
2. Menggali Hikmah Kehidupan
a. Pengertian Hikmah dan
Ruang Lingkupnya
Secara bahasa al-hikmah
berarti: kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, lsafat,
kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur'an. Menurut
Al-Maraghi dalam kitab Tafsirnya, menjelaskan al-Hikmah sebagai
perkataan yang tepat lagi tegas yang diikuti dengan dalil-dalil yang dapat
menyingkap kebenaran. Sedangkan menurut Toha Jahja Omar; hikmah adalah
bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan kitalah yang harus
berpikir, berusaha, menyusun, mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada
keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan
dengan hal-hal yang dilarang oleh Allah
sebagaimana dalam ketentuan hukum-Nya.
Dalam kata al-hikmah terdapat makna
pencegahan, dan ini meliputi beberapa makna, yaitu:
1)
Adil akan mencegah pelakunya
dari terjerumus ke dalam kezaliman.
2) Hilm akan mencegah pelakunya dari
terjerumus ke dalam kemarahan.
3)
Ilmu akan mencegah pelakunya
dari terjerumus ke dalam kejahilan.
4)
Nubuwwah, seorang Nabi tidak lain diutus untuk mencegah manusia
dari menyembah selain Allah, dan dari terjerumus kedalam kemaksiatan serta
perbuatan dosa. al-Qur’an dan seluruh kitab samawiyyah diturunkan oleh
Allah agar manusia terhindar dari syirik, mungkar, dan perbuatan buruk.
Lafad al-hikmah
tersebut dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali dengan berbagai makna.
a. Bermakna pengajaran Al-Qur’an
... ...
“Dan apa yang telah diurunkan
Allah kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan al-hikmah, Allah memberikan
pengajaran ( mau’izah ) kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu “
(QS. Al-Baqarah [2] :
231)
b.
Bermakna pemahaman dan ilmu
Hai Yahya, ambillah Al kitab
(Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi
ia masih kanak-kanak.
(QS. Maryam [19 ]: 12)
c. Bermakna An-Nubuwwah (kenabian). (QS.An-Nis ' [4] :5 4
dan QS d [38] : 20)
d. Bermakna al-Qur’an yang mengandung keajaiban-keajaiban dan penuh
rahasia (QS. Al-Baqarah [2] : 269)
Abdurrahman As-Sa’di menafsirkan kata Al-hikmah
denganilmu-ilmu yang bermanfaat dan pengetahuan-pengetahuan yang benar, akal
yang lurus, kecerdasan yang murni, tepat dan benar dalam hal perkataan maupun
perbuatan.”
Kemudian beliau berkata, “seluruh perkara
tidak akan baik kecuali dengan al-hikmah, yang tidak lain adalah
menempatkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya; mendudukkan perkara pada
tempatnya, mengundurkan ( waktu ) jika memang sesuai dengan kondisinya, dan
memajukan ( waktu ) jika memang sesuai dengan yang dikehendaki.”
b. Anjuran Memiliki Hikmah
Hikmah itu adalah Setiap
perkataan yang benar dan menyebabkan perbuatan yang benar. Hikmah ialah: ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, kebenaran
dalam perbuatan dan perkataan, mengetahui kebenaran dan mengamalkanya.
Setelah seseorang mendapatkan
hikmah, maka baginya wajib untuk menyampaikan atau mendakwahkannya sesuai
dengan rman Allah
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. An- ahl [16] : 125)
1) Dapat menempatkan perkataan yang bijak, pengajaran, serta
pendidikan sesuai dengan tempatnya. Berkata dan berbuat secara tepat dan benar
2)
Dapat memberi nasihat pada tempatnya
3)
Dapat menempatkan mujadalah (dialog) yang baik pada
tempatnya.
4)
Dapat menempatkan sikap tegas
5)
Memberikan hak setiap sesuatu, tidak berkurang dan tidak
berlebih, tidak lebih cepat ataupun lebih
lambat dari waktu yang dibutuhkannya
c.
Keutamaan Hikmah
1) memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam melaksanakan dan
membela kebenaran ataupun keadilan,
2) menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bekal utama yang terus
dikembangkan,
3) mampu berkomunikasi dengaN oranglaindenganberagampendekatan dan
bahasan,
4) memiliki semangat juang yang tinggi untuk mensyiarkan kebenaran
dengan beramar makruf nahi munkar,
5) senantisa berpikir positif untuk mencari solusi dari semua
persoalan yang dihadapi,
6) memiliki daya penalaran yang obyektif dan otentik dalam semua
bidang kehidupan,
7) orang-orang yang dalam perkataan dan perbuatannya senantiasa
selaras dengan sunnah Rasulullah
3. Membiasakan
Sikap Iffah
a.
Pengertian ‘Iffah
Secara etimologis, ‘iffah adalah bentuk masdar
dari affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang
tidak baik, iffah juga berarti kesucian tubuh. Secara terminologis,
iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan
merendahkan, merusak dan menjatuhkannya.
Iffah (al-iffah) juga dapat dimaknai sebagai usaha untuk
memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjaga diri dari
segala tuduhan, tnah, dan memelihara kehormatan.
b. Iffah dalam
Kehidupan
iffah hendaklah dilakukan setiap waktu agar tetap berada dalam keadaan
kesucian. Hal ini dapat dilakukan dimulai memelihara hati (qalbu) untuk
tidak membuat rencana dan angan-angan yang buruk. Sedangkan kesucian diri
terbagi ke dalam beberapa bagian:
a) Kesucian Panca Indra; (QS. An-N r [24] : 33)
Dan orang-orang yang tidak
mampu NIKAH hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunia-Nya. (QS. An-N r [24] : 33)
b) Kesucian Jasad; (QS. Al-AH zA b [33] 59
Hai Nabi, Katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
«Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka». yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-AH zA b [33] :
59)
c) Kesucian dari Memakan Harta Orang Lain; (QS.
An-Nisa [4] : 6)
Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. ke mudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin,
Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu).
(QS. An-Nis ' [4] : 6)
Akidah Akhlak, Kurikulum 2013
|
53
|
d). Kesucian Lisan
Dengan cara tidak berkata menyakitkan orang
tua seperti rman Allah Swt.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan «ah» dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia
(QS. Al Isr ’ [17] : 23)
c. Keutamaan Iffah
Dengan demikian, seorang yang ‘a
f adalah orang yang bisa menahan diri dari perkara-perkara yang dihalalkan
ataupun diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan
menginginkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah:.
Artinya; “Apa yang ada padaku
dari kebaikan (harta) tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa
yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara dan menjaganya,
dan siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan
menjadikannya sabar. Dan siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta
kepada selain-Nya maka Allah akan memberikan kecukupan padanya. Tidaklah kalian
diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Agar seorang mukmin memiliki
sikap iffah, maka harus melakukan usaha-usaha untuk membimbing jiwanya
dengan melakukan dua hal berikut:
1) Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan
menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di
tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lis
nul maqal) maupun keadaan (lisanul h l).
2) MerasacukupdenganAllah,percayadenganpencukupan-Nya.Siapa yang
bertawakal kepada Allah, pasti Allah akan mencukupinya. Allah itu mengikuti
persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh
kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh
apa yang disangkanya.
Untuk mengembangkan sikap ‘iffah
ini, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh seorang
muslim untuk menjaga kehormatan diri, di antaranya:
1) Selalu mengendalikan dan membawa diri agar tetap menegakan
sunnah Rasulullah,
2) Senantiasa mempertimbangkan teman bergaul dengan teman yang
jelas akhlaknya,
3) Selalau mengontrol diri dalam urusan makan, minum dan berpakaian
secara Islami,
4) Selalu menjaga kehalalan makanan, minuman dan rizki yang
diperolehnya,
5) Menundukkan pandangan mata (ghadul bashar) dan menjaga
kemaluannya,
6) Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki atau perempuan
yang bukan mahramnya,
7)
Senantiasa menjauh diri dari hal-hal yang dapat mengundang tnah.
’Iffah merupakan akhlak
paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh sebab itulah sifat ini perlu dilatih
sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan daya tahan
terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan
membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat ’iffah akan lahir sifat-sifat
mulia seperti: sabar, qana’ah, jujur, santun, dan akhlak terpuji lainnya.
Ketika sifat ’iffah ini
sudah hilang dari dalam diri seseorang, akan membawa pengaruh buruk dalam diri
seseorang, akal sehat akan tertutup oleh nafsu syahwatnya, ia sudah tidak mampu
lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana baik dan buruk, yang halal dan
haram.
4.
Mengembangkan Sikap Syaja’ah a. Pengertian Syaja’ah
Secara etimologi kata al-syaja’ah
berarti berani antonimnya dari kata al-jabn yang berarti pengecut. Kata
ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif dari
sikap berani yaitu mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan
mengandung resiko dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila
tidak digunakan sebagaimana mestinya menjerumuskan seorang muslim kepada
kehinaan.
Syaja’ah dalam kamus bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan,
yaitu seseorang yang dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada
keberanian menerima musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Pada
diri seorang pengecut sukar didapatkan sikap sabar dan berani. Selain itu Syaja’ah
(berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu
sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
b.
Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan
Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu;
1)
Rasa takut kepada Allah Swt.
2)
Lebih mencintai akhirat daripada dunia,
3)
Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang
4)
Tidak menomor satukan kekuatan materi,
5)
Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah,
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi
kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan
khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang
yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah
(berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”
Berdasarkan pengertian yang ada
di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti hilangnya rasa
takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang berorientasi kepada
aspek maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan pertimbangan maslahat.
Predikat pemberani bukan hanya
diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di medan perang. Setiap profesi
dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara
bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan berani apabila mampu
menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan berani apabila
mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.
Keberanian terbagi kepada
terpuji (al-mahmudah) dan tercela (al-madzmumah). Keberanian yang
terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan yang
diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela
adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat
penggunaannya.
Syaja’ah dapat
dibagi menjadi dua macam:
1)
Syaja’ah harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya
keberanian dalam medan tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah nafsiyah, yaitu keberanian
menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan kebenaran.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1)
Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang
salah.
2)
Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa. Dari dua
macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat
dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan,
penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan
Allah.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan
penguasa yang zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh
perhitungan. Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya
mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung
jawab.
d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat
pengecut yang tidak mau mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap
”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang
cenderung bersikap “over con dence” terhadap dirinya, menganggap dirinya
baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya
ada yang bersikap “under estimate” terhadap dirinya yakni menganggap dirinya
bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua
sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang
yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang
memiliki sisi baik dan buruk.
f)
Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia
tetap mampu ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian
ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya
kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.
c. Hikmah syaja’ah
dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan
untuk di miliki setiap muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat
mendatangkan berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat
mulia, cepat, tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang,
mencintai. Akan tetapi apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila
tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat
ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika
seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah
diri, cemas, kecewa, kecil hati dan sebagainya.
5. Menegakkan
Sikap ’Adalah
1.
Pengertian
Pengertian adil menurut bahasa adalah sebagai berikut.
Meletakkan sesuatu pada
tempatnya
Adil juga berarti tidak berat sebelah,
tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain.
Berlaku adil adalah memperlakukan hak dan
kewajiban secara seimbang, tidak memihak, dan tidak merugikan pihak mana pun.
Adil dapat berarti tidak berat sebelah serta berarti sepatutnya, tidak
sewenang-wenang.
Jamil
Shaliba, penulis kamus Filsafat Arab, mengatakan bahwa, menurut bahasa adil
berarti al-Istiqamah yang berarti tetap pada pendirian, sedangkan dalam
syari'at adil berarti tetap dalam pendirian dalam mengikuti jalan yang benar
serta menjauhi perbuatan yang dilarang serta kemampuan akal dalam menundukkan
hawa nafsu. Sebagaimana rman di bawah ini.
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç›!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1öà)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcrã©.x‹s? ÇÒÉÈ
90.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.
.
(QS. an-Na l [16] : 90)
2. Bentuk-Bentuk Adil
a. Adil terhadap
Allah, artinya menempatkan Allah pada tempatnya yang benar, yakni sebagai
makhluk Allah dengan teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita,
Sehingga benar-benar Allah sebagai Tuhan kita.
b. Adil terhadap diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada
tempat yang baik dan benar. Untuk itu kita harus teguh, kukuh menempatkan diri
kita agar tetap terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan. Untuk
mewujudkan hal tersebut kita harus memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta
menghindari segala perbuatan yang dapat mencelakakan diri.
c. Adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada
tempatnya yang sesuai, layak, dan benar. Kita harus memberikan hak orang lain
dengan jujur dan benar tidak mengurangi sedikitpun hak yang harus diterimanya.
d. Adil terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk
lain pada tempatnya yang sesuai, misalnya adil kepada binatang, harus
menempatkannya pada tempat yang layak menurut kebiasaan binatang tersebut.
3.
Kedudukan dan Keutamaan adil
a. Terciptanya rasa aman dan tentram karena semua telah merasa
diperlakukan dengan adil.
b.
Membentuk pribadi yang melaksanakan kewajiban dengan baik
c.
Menciptakan kerukunan dan kedamaian
d. Keadilanadalahdambaansetiaporang.Alangkahbahagianyaapabila
keadilan bisa ditegakkan demi masyarakat, bangsa dan negara, agar masyarakat
merasa tentram dan damai lahir dan batin.
e. Begitu mulianya orang yang berbuat adil sehingga Allah tidak
akan menolak doanya. Demikian pula Allah sangat mengasihi orang
Sertakan ciri" Nya
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapus