TASAWUF
A. TASAWUF
4.1. Pengertian
Tasawuf
Pengertian Tasawuf menurut terminologi/istilahi adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana.
Abu Yazid al-Bustami (w.261 H/875M) pencetus teori fana’,
baqa’, dan ittihad dalam tasawuf mengemukakan, bahwa tasawuf
mencakup tiga aspek yaitu kha’, ha’ dan jim, maksudnya takhalli berarti
mengosongkan diri dari perangai yang tercela;
ha’, maksudnya tahalli, berarti
menghiasi diri dengan akhlak terpuji; dan jim’, maksudnya tajalli, berarti
mengalami kenyataan ketuhanan
Para ahli tasawuf
ada tiga sudut pandang mengenai definisi tasawuf :
Yang pertama
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, yang Kedua sudut pandang
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang dan yang ketiga sudut
pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan
Al-Junaid al-Baghdadi (Bapak Tasawuf moderat)
mendefinisikan Tasawuf sebagai
keberadaan bersama Allah SWT tanpa adanya penghubung. Baginya tasawuf berarti
membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang. Menekan sifat basyariyah,
menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada
ilmu kebenaran, memberi nasehat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada
Allah SWT dan mengikuti syariat Rasululloh SAW.
Ibrahim Basyuni,
mengategorikan pengertian Tasawuf pada tiga hal diantarnya :Al-Bidayah artinya
pemahaman tasawuf pada tingkat permukaan yaitu menekankan kecenderungan jiwa
dan kerinduannya secara fitnah kepada Yang maha Mutlak, sehingga orang
senantiassa berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kecenderungan jiwa
seperti ini menurutnya dimiliki oleh setiap manusia. Dalam fitnah inilah
manusia berbeda dengan binatang.
Al-Mujahadah
artinya pemahaman tasawuf pada pengamalan yang didasarkan pada kesungguhan
yaitu yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam pendekatan diri kepada Allah
SWT
Aal-Madzaqat
artinya pemahaman tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keberagamaan,
terutama dalam mendekati dzat yang mutlak.
Pemahaman kategori tasawuf diatas. dapat menyimpulkan bahwa
tasawuf adalah kesadaran murni yang mengerahkan jiwa secara benar kepada amal
dan aktifitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan
dengan-Nya.
. Sumber Tasawuf dari al-Qur’an dan al-Sunnah
Muhammad Amin
al-Kurdy mengatakan bahwa Tasawuf adalah suatu ilmu yang denganya dapat
diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa, cara
membersihkannya dengan sifat-sifat yang terpuji.Dalam hal ini, sumber Tasawuf
dari al-Qur’an termaktub pada QS. Al-A’la : 14-15.
Artinya : Maka
Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada.( QS.Al-Hajj: 46)
Dengan demikian, baik buruknya perilaku manusia tergantung
ppada hatinya. Hati yang bening membawa pada perdamaian dan ketentraman serta
memancarkan sikap dan tindakan yang menyejukkan sesama dan lingkungan
sekitarnya. Sementara hati yang kotor membawa kekacauan, kererasahan, dan
kebrutalan, yang berdampak pada kehancuran manusia dan lingkungannya. Hati yang
bening akan terwujud pada diri manusia ketika ia menjalin hubungan yang intim
dengan yang Maha Suci. AllaH
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.Ar-Ra’d:28
Kalbu
memainkan peranan penting dalam menentukan arah hidup manusia. Sebuah hadits
yang artinya ;
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh
(manusia) terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka akan baiklah
seluruh tubuh, tetapi apabila daging itu rusak, rusak pulalah seluruh tubuh
(manusia).ingatlah, bahwa daging itu ialah hati” (HR.Bukhari dan Muslim)
Esensi Tasawuf
Esensial tasawuf berkisar
sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Tuhan. Proses
dan jalan itu sendiri sangat panjang dan melalui tahapan-tahapan yang disebut
maqamat. Maqamat berarti posisi, kedudukan, tingkat. Pendapat Harun Nasution,
pakar filsafat Islam bahwa maqamat lazim dipahami sebagai tempat pemberhentian
atau stasiun dalam sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan. Abu Nasr as-Sarraj
at- Tusi (w.378H/988M), tokoh tasawuf suni dari Iran, menjelaskan bahwa maqamat
adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah SWT yang berhasil diperolehnya
melalui ibdah, perjuangan melawan hawa nafsu (jihad an-nafs), berbagai latihan
spiritual (riyadah), dan penghadpan segenap jiwa raga (intiqa) kepada Allah
SWT.
Maqamat yang harus dijalani oleh seorang sufi atau calon
sufi terdiri atas beberapa peringkat. Abu Bakar al-Kalabadzi berpendapat
menyebutkan tujuh maqam yang harus dilalui sufi menuju Tuhan adalah tobat,
zuhud, sabar, tawakal, rida, mahabbah (mahabah atau cinta) dan ma’rifah
(ma’rifat) salah satu maqamat terpenting menurut Muhammad amin al-Kurdi
al-Irbili adalah tobat (taubah)
pengertian tobat adalah kembali dari segala perbuatan
tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama.ƒ
Artinya : kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan
amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya. (QS.al-Furqaan : 70-71)
Imam al-Ghazali menjelaskan dalam karyanya Minhaj al-Abidin
(panduan para pelaku ibadah) bahwa tobat itu mempunyai dua sasaran. Pertama,
tobat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Allah
SWT, sebab dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya
jalan untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Dosa yang dilakukan seseorang
secara terus menerus, tanpa tobat, akan menjadikan hatinya gelap, penuh noda
hitam, keras, dan kotor.
Maqam yang kedua yang harus dilalui oleh sufi adalah zuhud
yang berarti meninggalkan sesuatu karena kekurangan dan kehinaannya.Zuhud
diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan
diri darinya karena taat kepada Allah SWT, padahal terdapat kesempatan untkmemperolehnya.
Menurut Imam Ghazali, ada tiga tanda kezuhudan pada diri
seseorang: 1. Ia tidak gembira dengan apa yang dapat dicapai dan tidak berduka
dengan hilang
2. ia bersikap sama dalam menerima pujian dan ejekan. Ini
merupakan tanda zuhud menyangkut pangkat dan kedudukan 3. Hatinya senantiasa diliputi kemesraan dalam mengingat
Allah SWT dan merasa nikmatnya beribadah.Allah SWT:
Artinya
: ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS.al-Hadiid : 20)
Maqamat yang ke tiga adalah sabar merupakan sifat para
rasul, terutama para rasul yang dijuluki sebagai ulul al’azm (yang memiliki
keteguhan hati)Syekh Abdul Qadir al-jaelani (w.561 H/1166M) membagi sabar atas
tiga tingkatan. Pertama, sabar untuk Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Kedua
sabar bersama Allah SWT (sabar ma’a Allah SWT) yang ketiga, sabar atas Allah
SWT (sabar ‘ala Allah SWT) yaitu keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam
menghadapi apa yang dijanjikan-Nya berupa rezki, kelapangan hidup dan
sebagainya.
.Teladan Sufi Nabi dan sahabat Nabi
Sebagaimana diketahui Islam lahir dibawa oleh Rasulullah
Muhammad saw. dengan doktrin-doktrin keagamaan, bersifat eksoteris dan
esoteris, atau bersifat lahiriyah maupun batiniyah. Kedua doktrin tersebut
bermuara pada satu titik, yang disebut dengan Titik Tauhid. Yaitu meng-Esakan
Allah swt. baik dalam keyakinan maupun amaliyah ummat manusia. Oleh sebab itu,
kelak akan muncul sejumlah istilah atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam
sebagai pendekatan lain dari pemahaman amaliyah Islam itu sendiri.
Unsur-unsur Tauhid (theology) dalam tradisi historis Islam,
lebih banyak responsinya ketika Rasulullah Muhammad saw, berada di Makkah, baru
ketika hijrah ke Madinah sejumlah doktrin tentang amaliyah yang kelak disebut
dengan doktrin Syari’at diturunkan. Lebih jauh tentang kajian historis responsi
doktrin keagamaan antara periode Makkah dan Madinah ini, bisa dilihat dari
beberapa kitab tentang Asbabun Nuzul, yaitu kajian tentang sebab-sebab turunnya
ayat Al-Qur’an, dan Asbabul Wurud, berkait dengan sebab-sebab munculnya hadits
Nabi saw.
Sementara itu, fungsi-fungsi hadits Nabi antara lain
menjelaskan praktek Al-Qur’an, — dan karenanya kedudukan Hadits juga setara
dengan Wahyu – lebih banyak memberikan petunjuk yang bersifat historis, yaitu
kepentingan-kepentingan zaman saat itu, walaupun, kedua sumber agama itu tetap
bersifat universal dan historis. Apalagi
ketika, sumber-sumber tersebut dibuat telaah seputar dunia esoteris, maka
fungsi-fungsi historis hanya sebagai pelengkap belaka, selebihnya justru
elemen-elemen fundamental akan muncul sebagai landasan pandangannya.
Seluruh ummat Islam pada periode Rasulullah saw, baik
ketika di Makkah maupun di Madinah, sama sekali tidak memunculkan
potensi-potensi konflik, apalagi muncul suatu kontradiksi , baik dari segi
pemahaman keagamaan maupun raktek keagamaan, bahkan dalam praktek kehidupan
sehari-hari. Hal demikian karena ummat Islam terikat suatu kesepakatan terhadap
kedua sumber utama praktek ibadah mereka, sementara Rasul Muhammad saw, menjadi
rujukan utama setiap masalah, sekaligus menjadi hakim atas semua persoalan yang
muncul.
Tetapi perbedaan mulai muncul, terutama dalam soal
pandangan yang bersifat publik, yaitu mengenai Khilafah paska Rasulullah saw,
sepeninggal beliau. Perbedaan pandangan ini memuncak ketika periode Khalifah
Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi
Thalib semoga Allah memuliakan wajahnya.
Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam Tasawuf,
juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan
di zaman Nabi kata Sufi, kata Syari’at, Hakikat, atau pun Thariqat, tidak
dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktek keagamaan. Semata, karena
para Sahabat dan Tabi’in, adalah sekaligus para pelaku Syari’at, Thariqat dan
Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu setengah abad kemudian,
istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka
memudahkan praktek ke-Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi Muhammad SAW. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al-Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya:
“Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seaakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Bukhari)
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi Muhammad SAW. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al-Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya:
“Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seaakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Bukhari)
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam prakteknya, memunculkan
tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang kekal membangunkan suatu
akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah
melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang
hamba berhubungan denganNya. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi
secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak
semua khalayak menerimanya.
Doktrin-doktrin Dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan
melalui Baiat pada Rasulullah saw. menggambarkan hubungan-hubungan psikhologis
antara Rasul saw. ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Tasawuf nantinya melahirkan
produk-produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap
soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qu’ran juga mengandung dimensi
batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak
Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an.
Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua hal: dzahir dan
batin, syari’at dan hakikat.
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahwa istilah Tasawuf,
kebanyakan refrensi menyebutkan muncul dari Ma’rif al-Karkhy (w. 200). Namun
Said Aqil cenderung berpihak pada Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir bin Hayyan bin
Abdillah al-Kufi al-Azdy (w. 161 H.) salah satu murid dari Ja’far ash-Shadiq
yang terkenal dengan temuannya, Aljabar. Jabir bin Hayyan inilah yag pertama
kali mendapat gelar sebagai Sufi, karena sebagai seorang ilmuwan matematik dan
kimia, Jabir justru memasuki dunia Sufi dengan segala penemuannya.
Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia Sufi bermula dari
aksioma Dhomir (kata ganti): Ana (aku, orang pertama), Huwa (dia, orang ketiga)
dan Anta (kamu, orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut bisa melekat pada satu
orang, semisal Ahmad.Ketika ia menyebut dirinya pasti menggunakan kata ganti
Ana, jika ia tidak ada ditempat maka ia disebut dengan Dia, sementara ketika ia
ada di hadapan Anda, maka Anda menyebutnya Anta. Lalau kemana larinya Ana,
Anta, Huwa, setelah Ahmad meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahwa semua
dlomir yang yang disandang itu kembali kepada Yang berhak mempunyai Ana, Anta
dan Huwa, yaitu Allah swt.
Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada
taraf Tasawuf Sunni (akhlaqy). Baru kemudian menurut Said Aqil, berkembang
Tasawuf Falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bistamy (w.261H.),
disusul Abu Mansur Al-Hallaj (w.309) masing-masing dengan teori Al-fana’ dan
Anal Haq. Dua abad berikutnya muncullah as-Suhrawardi al-Maqtul dengan
pandangan Isyraqynya, disusul Muhammad bin Abu Bakr Ibrahim bin Abi Ya’kub
Ishak al-Aththar (w. 621 H), memperkenalkan teori Al-Ittihad. Hampir bisa
diskatakan bahwa puncak prestasi dari Tasawuf falsafy itu pada Ibnu
Araby.Abdurrahman as-Sulamy (W. 412 H) dalam kitabnya Thabaqatus Shufiyah,
membagi generasi Sufi menjadi lima periode hingga peridodenya. Kitab Thabaqatus
Shufiyah tersebut sangat berperan besar dalam menyatukan visi besar kaum Shui,
mengingat ucapan-ucapan para tokoh Shufi dikutip di sana, bahkan dengan
sejumlah landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelumnya Ulama dan Sufi besar ini
menulis buku yang cukup bagus pula, Tarikhus Shufiyah. Sebelumnya para Ulama
Shufi juga menulis, walaupun tidak sekomprehensif As-Sulamy, beberapa kitab
tentang sejarah dan biografi para Sufi. Antara lain:
Thabaqatun Nusaak, karya Abu Sa’id Ibnul A’raby (W. 341 H)
yang sering dibuat refrensi utama oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’.
Akhbarush-Shufiyah waz-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (W. 342 H.)
Tarikhush-Shufiyah , karya Ahmad bin Muhammad bin Zakaria an-Nasawy az-Zahid (W. 396 H).
Akhbarush-Shufiyah waz-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (W. 342 H.)
Tarikhush-Shufiyah , karya Ahmad bin Muhammad bin Zakaria an-Nasawy az-Zahid (W. 396 H).
As-Sulamy dalam Thabaqat, merinci sejumlah nama besar dari
seluruh periode itu, dengan lima generasi. Generasi ini menurut As-Sulamy
adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk
dalam katergori sabda Rasulullah saw:
“Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya…” (H.r. Bukhari)
“Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya…” (H.r. Bukhari)
Generasi inilah yang juga pernah diprediksi oleh Rasulullah
saw, dalam sabdanya: “Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku
dengan budi pekeri Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala ada suatu perkara
datang, mereka diserahi.”
Hubungan antara Tasawuf dengan akhlak
Tasawuf
merupakan suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dengan sifat-sifat yang
terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridlaan Allah SWT dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, serta mengerjakan semua yang
diperintahkan-Nya. Orang sufi menurut al-kurdy adalah orang yang hatinya
jernih, terhindar dari kehidupan buruk, dan senantiasa terisi oleh nur Ilahi,
sehingga kemurnian hatinya bagaikan emas.Allah SWT berfirman :
Artinya : Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya. (QS.Asy-Syams :Pakar ahli tasawuf membagi tasawuf
menjadi tiga bagian adalah tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menekankan pada
masalah metafisika, tasawuf akhlak adalah tasawuf yang menekankan nilai-nilai
moralitas, tasawuf ‘amali adalah tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan
beribadah, tujuannya agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setiap
melakukan ibadah.
Akhlak itu
akan menghiasi kehidupan orang tasawuf dalam melakukan amalan-amalan untuk
membersihkan jiwa, memperoleh suatu hubungan dengan Allah SWT dengan maksud
memiliki makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat
Allah SWT, kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara
roh manusia dengan Allah SWT.
Kesimpulan
hubungan antara tasawuf dengan akhlak erat sekali disebabkan bahwa orang yang
bertasawuf untuk mencapai kesucian diri harus berakhlak yang baik tanpa itu
tidak akan tercapai.
Komentar
Posting Komentar