Materi Ahklaq 13 (XI AG) II Syukur ,tawakkal dan Ihlas


 Syukur Dan Tiga Nikmat Dalam Musibah ***
Syukur adalah memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah ia kuasakan kepada anda.

Syukur seorang hamba itu terdiri atas tiga rukun – dan ketiga-tiganya harus ada. Yaitu;

1. Secara batin mengakui nikmat.
2. Secara lahir membicarakannya.
3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepad Allah‘Azza wa Jalla.

Jadi, syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan sekaligus. Hati untuk ma’rifal dan mahabbah. Lisan untuk memuji. Anggota badan untuk menggunakannya dalam menaati Allah dan mencegah dari bermaksiat kepada-Nya.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebut syukur dan iman secara beruntun. Dia menyatakan, tidaklah perlu mengadzab makhluk, jika mereka bersyukur dan beriman.

مَايَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ

“Mengapa Allah mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman.” (Qs. An-Nisa: 147)

Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya, yang berhak atas karunia-Nya adalah mereka yang pandai bersyukur.

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلآءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَآ أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

“Dan demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan yang lain, supaya mereka berkata, ‘Apakah mereka orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kami?’ Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Al-An’am: 53)

Allah ‘Azza wa Jalla membagi manusia menjadi dua; syakuur (yang bersyukur) dan kaafuur (yang kufur). Hal yang paling dimurkai oleh-Nya adalah kekafiran dan orang-orang kafir. Sedangkan, hal yang paling dicintai oleh-Nya adalah kesyukuran dan orang-orang yang pandai bersyukur.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Sungguh telah Kami tunjukkan kepadanya jalan itu. Ada kalanya ia bersyukur dan ada kalanya ia kufur.” (Qs. Al-Insan: 3)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah ketika Rabb-mu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku itu amatlah berat.” (Qs. Ibrahim: 7)

Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tambahan (rezeki), tergantung kepada kesyukuran. Dan tambahan dari-Nya adalah tambahan yang tiada batas, sebagaimana syukur itu sendiri juga tiada batas. Allah ‘Azza wa Jalla juga menjadikan banyak pahala bergantung kepada kehendak-Nya. Seperti,

فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَآءَ

“Maka, pastilah Allah akan menjadikan kalian kaya dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (Qs. At-Taubah: 28)

وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ

“Dan Allah memberikan ampunan bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Maidah: 40)

وَيَتُوبَ اللهُ عَلَى مَن يَشَآءُ

“Dan Allah menerima taubat dari siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. At-Taubah: 15)

Allah ‘Azza wa Jallamenjadikan balasan syukur tanpa pembatasan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali-Imran: 145)

Tatkala Iblis mengerti nilai syukur sebagai kedudukan tertinggi dan termulia, maka ia pun mencanangkan tujuan akhirnya, yaitu menjauhkan manusia dari bersyukur.

ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Lalu aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari samping kanan, dan dari samping kiri. Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Qs. Al-Araf: 17)

Allah ‘Azza wa Jalla pun menyebutkan bahwa orang-orang yang bersyukur itu sedikit.

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit saja dari hamba-hambKu yang pandai bersyukur.” (Qs. Saba’: 13)

Termuat dalam Shahih Bukhari dan, bahwa Nabi bangun malam sampai pecah-pecah kedua (telapak) kaki beliau. Ditanyakan kepada beliau, “Engkau melakukan semua ini, padahal Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang sudah maupun yang akan berlalu?” Beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kepada Mu’adz Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَ اللهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ: اللّهُمَّ أَعِنِّي عَلي ذِكْرِكَ ,َشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka, di setiap penghujung shalat janganlah kamu lupa membaca (artinya), ‘Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat kepada-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Adz-Dzahabi)

Syukur adalah pengikat nikmat dan penyebab bertambahnya nikmat tersebut. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Ikatlah nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dengan bersyukur kepada-Nya.”

Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, kepada seorang laki-laki dari Hamadzan, Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur itu berkaitan dengan maziid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka mazid dari Allah tidak akan terputus sampai terputusnya syukur dari hamba”.

Hasan Al-Bashri berujar, “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah kesyukuran. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menceritakan nikmat Rabbnya. Dia berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan adapun tentang nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah!” (Qs. Adh-Dhuha: 11)

Allah‘Azza wa Jalla menyukai terlihatnya bekas-bekas nikmat-Nya kepada seorang hamba. Itu adalah syukur dalam wujud perbuatan.

Adalah Abu Al-Mughirah, jika ditanya tentang kabarnya, menjawab, “Pagi ini, kita tenggelam di dalam nikmat, tetapi lemah di dalam bersyukur. Rabb kita menampakkan cinta-Nya kepada kita, padahal Dia tidak membutuhkan kita. Sedangkan kita menampakkan kebencian kepada-Nya, padahal kita sangat membutuhkan-Nya.”

Syuraih berujar, “Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla. Musibah itu tidak berkenaan dengan diin-nya, musibah itu tidak lebih berat daripada yang terjadi, dan musibah itu pasti akan terjadi lalu telah terjadi.”
Yunus bin Ubaid menceritakan seseorang telah bertanya kepada Abu Ghanimah, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Pagi ini aku dalam keadaan mendapat dua nikmat yang aku tidak tahu mana yang lebih baik. Yaitu dosa-dosa yang Allah tutupi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menelanjangiku karenanya, serta kecintaan yang Allah semaikan di dalam hati manusia yang tidak akan mampu dicapai oleh amal-amalku.”

Dalam mengomentari ayat:

سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ

“Akan Kami beri istidraaj (ujian) kepada mereka dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raf: 182)

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka diliputi oleh kenikmatan dan terhalangi dari bersyukur.” Banyak juga yang menafsirkan, “Setiap kali mereka berbuat dosa, setiap kali itu pula mereka diberi nikmat.”

Seseorang bertanya kepada Abu Hazim. “Apakah syukurnya dua mata itu, wahai Abu Hazim?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat kebaikan sebarkanlah, dan jika kamu melihat keburukan tutupilah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua telinga?” Abu Hazim menjawab, “Jika kamu mendengar kebaikan peliharalah, dan jika kamu mendengar keburukan cegahlah!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua tangan?” Abu Hazim menjawab, “Jangan kamu gunakan ia untuk mengambil barang yang bukan haknya! Juga penuhilah hak Allah yang ada pada keduanya!”

Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana syukurnya perut?” Abu Hazim menjawab, “Hendaknya makanan ada di bagian bawah, sedangkan yang atas dipenuhi dengan ilmu!”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kemaluan?” ia menjawab dengan membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ 5. إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ 6. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَآءَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ .7

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka mereka tidaklah tercela. Dan barangsiapa mencari selain itu semua, merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mukminun: 5-7)

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya dua kaki?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat seseorang yang shalih meninggal, segera teladani amalannya. Dan jika mayat itu orang yang tidak baik, segera jauhi amal-amal yang dia kerjakan, kamu bersyukur kepada Allah! Sesungguhnya orang yang hanya bersyukur dengan lisannya itu seperti seseorang yang memiliki pakaian tetapi ia hanya memegang ujungnya, tidak memakainya. Maka ia pun tidak terlindungi dari panas, dingin, salju dan hujan.”

Beberapa ulama menulis surat kepada saudaranya. “Pagi ini kami diberi nikmat oleh Allah yang tidak terhingga, padahal kami banyak bermaksiat kepadanya. Kami tidak tahu terhadap yang mana kami harus bersyukur; terhadap keindahan yang dimudahkan ataukah terhadap dosa-dosa yang ditutupi?”

Tawakal kepada Allah
Tawakal ialah menyerah tanpa pamrih sepenuhnya, sehingga apapun keputusan yang diberikan Allah tidak ada rasa sedih lagi tapi menerimanya dengan sepenuh hati. bertawakal merupakan sebab dibukanya jalan rezki oleh Allah sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang artinya “ kalau kamu berserah diri / tawakal sepenuhnya kepada Allah, maka kamu akan diberi rezki oleh Allah seperti rezki yang diberikan kepada burung-burung yang waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali sore dengan perut kenyang”.
Demikianlah pentingnya tawakal kepada Allah yang harus dimiliki oleh hati setiap muslim agar dapat hidup tentram dan penuh optimis dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, karena segalanya senantiasa diserahkan sepenuhnya kepada Allah setelah kita melaksanakan usaha dengan sekuat tenaga dan pikiran.
Pengertian Ikhlas Dan Beberapa Perusaknya 
Pentingnya amalan hati
Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyahmengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai AllahSubhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankanagama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atauhukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Alfatawa 10/5, juga 20/70)
 IHLASAA
Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badanadalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jikaruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih pentingdaripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak adamanfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripadaamalan anggota badan.

Kedudukan IkhlasIkhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allahdengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya merekamendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamuyang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)

Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu waAshwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi waSalam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkanpersekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu makaAku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, makaamalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yangmati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orangyang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim.Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapitujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalamNeraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas
Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia.
Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipunseluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaikihatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupunperbuatan itu sepele.

Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobatidaripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."

Perusak-perusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
- Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
- Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
- 'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya denganmengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam babmenyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)

Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:

- Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jikadiketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salamterhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya,diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak iadapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan ituia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.

- Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.

- Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid AlGhazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid:"Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.

- Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah,dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan caraikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah duahal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannyaadalah selain Allah
- Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadangseseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebutmenganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat danmemujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.
Cara-cara mengobati riya'- Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalahmengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.
- Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allahbukan kemauan diri sendiri.
- Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikanuntuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangatminim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan. 
- Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
- Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
- Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikalamenyandiri dan sebagainya.
- Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.
- Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
- Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya 
- Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.

- Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah akuberlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak kuketahui."
- Wallahu a'lam bis shawab.
Disarikan dari buku al ikhlash wa asy syirkul asghar,Dr Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdul Lathif, Darul Wathan Riyadh(Ibnu Djawari)






Komentar

Postingan populer dari blog ini

P5RA DI MA MANZILUL ULUM

AHLAQ XI AG /13 SEM II. Hikmah Syaja’ah Iffah Adalah

TASAWUF